Berdiri Sampai Hari Kiamat”: Palang Adat dan Salib Merah Jadi Simbol Perlawanan Masyarakat Adat Papua
Info Tanah Merah- Setiap bulan September, tepatnya pada 14 September yang diperingati sebagai Hari Salib Suci dalam tradisi Kristen, masyarakat adat di Papua Selatan berkumpul untuk menggelar ritual yang sarat makna: penancapan Palang Adat dan Salib Merah. Tradisi ini bukan sekadar perayaan keagamaan, tetapi juga simbol perlawanan mereka terhadap ancaman perampasan tanah adat akibat proyek-proyek strategis nasional, seperti perkebunan sawit, tebu, dan proyek cetak sawah baru.
Selama beberapa tahun terakhir, ribuan salib berwarna merah telah berdiri tegak di lahan adat, di tepi hutan, hingga di depan gereja. Bagi masyarakat adat, salib-salib itu adalah peringatan sekaligus benteng terakhir agar tanah mereka tidak diambil alih pemerintah maupun perusahaan yang sudah memegang izin konsesi.

Baca Juga : Jalan Berlubang Tak Kunjung Diperbaiki, Warga Tapteng Protes Kreatif
2.000 Salib Tegak di Tanah Adat
Simon Petrus Balagaize dari Forum Masyarakat Adat Malind Kondo Digul mengungkapkan bahwa hingga kini sudah lebih dari 2.000 salib didirikan di berbagai wilayah adat seperti suku Awyu, Wambon, Marind, Yei, hingga di Jayapura.
“Penancapan salib merah ini adalah simbol perlawanan. Ini cara kami menyatakan bahwa tanah ini bukan tanah kosong, ini adalah rumah kami,” ujar Simon.
Di Distrik Tubang, salib-salib berdiri di dusun, halaman rumah, hingga di depan gereja-gereja di Kampung Wamal, Dokib, dan Yowied. Hal yang sama juga terjadi di Distrik Okaba, di mana warga Kampung Magai Wambi dan Kampung S Wambi ikut mendirikan salib merah di tempat ibadah. Bahkan, di Kampung Salamepe, Distrik Ngguti, salib baru saja didirikan sebagai tanda protes masyarakat.
“Sampai Dunia Kiamat”
Di wilayah suku Awyu, penancapan salib sudah dilakukan sejak 2016. Hendrikus “Franky” Woro, salah satu penggerak gerakan salib merah, mengatakan jumlah salib kini hampir 1.500.
“Kami tidak akan berhenti. Kami akan terus menancap salib seperti ini sampai dunia kiamat,” tegas Franky.
Perlawanan yang Terorganisir
Selain menancapkan salib, masyarakat adat juga menempuh jalur hukum.
Rode Wanimbo, aktivis perempuan dan pekerja Gereja yang aktif mendampingi masyarakat adat, menyebut gerakan ini sebagai bentuk perlawanan sekaligus ibadah.
“Gerakan salib merah adalah gerakan keselamatan. Ini bukan sekadar protes, tetapi panggilan iman untuk melindungi kehidupan, identitas, dan keberlangsungan generasi kami,” jelas Rode yang juga menjabat Ketua Departemen Perempuan Gereja Injili di Indonesia (GIDI).
Perempuan Jadi Penopang Gerakan
Rode juga menyoroti peran perempuan dalam menjaga gerakan ini tetap hidup.
“Dalam setiap palang adat dan salib merah yang berdiri, ada air mata perempuan yang mengiringinya. Ada doa dan ratapan yang menjadi sumber kekuatan perlawanan,” ujarnya.
Seruan Solidaritas
Franky Woro menegaskan perjuangan mereka bukan hanya untuk masyarakat adat Papua, tetapi untuk semua pihak yang peduli pada lingkungan hidup dan hak asasi manusia.
Ini bukan hanya soal tanah, ini soal masa depan kami. Kami butuh dukungan solidaritas dari seluruh Indonesia,” kata Franky.
Dengan salib merah yang terus bertambah setiap tahun, pesan perlawanan itu semakin jelas: masyarakat adat Papua tidak akan menyerahkan tanah mereka begitu saja. Selama salib-salib itu berdiri, mereka akan terus melawan – bahkan sampai dunia kiamat.